Imunisasi merupakan investasi kesehatan masa depan
karena pencegahan penyakit melalui imunisasi merupakan cara
perlindungan
terhadap infeksi yang paling efektif dan jauh lebih murah dibanding
mengobati seseorang
apabila telah jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit.
Dengan imunisasi, anak akan terhindar dari
penyakit infeksi berbahaya,
maka mereka memiliki kesempatan beraktifitas, bermain, belajar
tanpa
terganggu masalah kesehatan. Namun demikian, sampai saat ini
masih
terdapat masalah-masalah dalam pemberian imunisasi, antara lain
pemahaman
orang tua yang masih kurang pada sebagian masyarakat, mitos
salah
tentang imunisasi, sampai jadwal imunisasi yang terlambat.
Untuk mengatasi masalah tersebut, diperlukan kerja
sama lebih erat
lagi
antara masyarakat, orang tua, petugas kesehatan, pemerintah, LSM,
maupun
akademisi. “Keberhasilan upaya imunisasi telah terbukti dapat
menyelamatkan
jiwa manusia dari penyakit infeksi berat seperti polio, difteri,
pertusis,
tetanus, campak, hepatitis, dll,” dikatakan dr Badriul Hegar,
Sp.A(K), Ketua
Umum PP-IDAI.
Pada kesempatan sama, dr Toto Wisnu
Hendrarto, Sp.A, Ketua Panitia
Simposium, mengatakan, ”Data terakhir WHO, terdapat kematian balita
sebesar 1,4
juta jiwa per tahun akibat penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi,
misalnya: batuk rejan 294.000 (20%), tetanus 198.000 (14%), campak
540.000
(38%). Di Indonesia sendiri, UNICEF mencatat sekitar 30.000-40.000
anak di
Indonesia setiap tahun meninggal karena serangan campak, ini berarti
setiap dua
puluh menit seorang anak Indonesia meninggal karena campak."
Dr Theresia Sandra Dyah Ratih, Kasubdit Imunisasi
Ditjen P2ML Kemenkes
RI
mengemukakan, ”Saat ini pemberian imunisasi untuk masyarakat dilakukan
di
tempat-tempat pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, klinik
bersalin,
puskesmas, posyandu, dan praktek dokter swasta. Setiap tahun
dilayani
imunisasi rutin kepada sekitar 4,5 juta (4.485.000) anak usia 0-1 tahun
(diberikan vaksin BCG satu kali, polio empat kali, DPT/HB tiga kali dan
campak
pada usia 9 bulan satu kali), imunisasi BIAS (Bulan
Imunisasi Anak
Sekolah) campak dan Td (tetanus difteri) pada anak kelas
satu, imunisasi Td
(tetanus difteri) pada anak kelas dua dan tiga, dengan
sasaran sekitar
12.521.944 anak sekolah (kelas satu sampai tiga), dan 4,9
juta
(4.933.500) ibu hamil dari sekitar 74 juta
(74.983.674) WUS (Wanita
Usia Subur) untuk sasaran vaksin TT (Tetanus Toxoid).”
“Sasaran tadi belum termasuk
pemberian
imunisasi tambahan (SIA/Supplement Immunization Activity), misalnya
pelaksanaan
PIN (Pekan Imunisasi Nasional) pada saat terjadi Kejadian Luar Biasa
polio,
crash program campak pada daerah risiko terjadi campak, imunisasi Td
pada anak
sekolah kelas empat, lima dan enam SD di daerah-daerah risiko
terjadinya
kejadian luar biasa penyakit difteri di Jawa Timur,” lanjutnya.
Lebih lanjut dikemukakan dr Theresia, “Untuk
mencapai cakupan tinggi
dan merata di setiap daerah, tentunya tidak bisa bekerja
sendiri, sangat
dibutuhkan kemitraaan dengan pihak profesional seperti dengan para
petugas medis lainnya. Perawat, bidan, dokter umum maupun para
dokter anak
untuk turut membantu memberikan pelayanan dan penjelasan
pentingnya imunisasi
kepada masyarakat.”
“Hambatan program imunisasi antara lain
karena geografis negara
Indonesia terdiri dari pulau-pulau, ada yang sangat sulit dijangkau,
sehingga
pelayanan imunisasi tidak dapat dilakukan setiap bulan, perlu
upaya-upaya khusus di daerah dan pendekatan luar
biasa pada
kawasan strategis,
perkotaan, pedesaan dan khususnya kawasan terisolir untuk mencapai
sasaran, kemitraan dengan program kesehatan lainnya seperti
pelayanan KIA
(Kesehatan Ibu dan Anak), gizi, UKS (Usaha Kesehatan
Sekolah).
Khususnya hambatan yang berupa rumor dan isu-isu negatif tentang
imunisasi,
maka kepada para profesional inilah kami mohon bantuannya untuk
memberikan
informasi bahwa vaksin yang disediakan pemerintah aman, telah
melalui
tahapan-tahapan uji klinik dan izin edar dari BPOM. Vaksin yang dipakai
program imunisasi juga sudah mendapat pengakuan dari Badan
International WHO
dan lolos PQ (praqualifikasi).”
Imunisasi campak sebagai tolak ukur kelengkapan
imunisasi, dimana cakupan
imunisasi campak tahun 2009 dilaporkan mencapai 92,1%, masih belum
merata,
masih ada daerah kantong-kantong dengan cakupan imunisasi rendah
sehingga
dapat
menimbulkan kejadian luar biasa. Cakupan imunisasi tahun ini yang telah
dilaporkan sampai bulan Agustus/September baru mencapai 66,1%.
“Ke depan kita akan terus menggiatkan kampanye
imunisasi supaya seluruh
anak Indonesia mendapatkan pelayanan imunisasi lengkap, sehingga
anak-anak Indonesia memiliki kekebalan terhadap penyakit yang dapat
dicegah
dengan
imunisasi, sehingga dapat menurunkan angka kesakitan, kematian dan
kecacatan.
Hal ini akan membantu percepatan pencapaian MDG-4. (Millenium
Development Goal
point 4),” demikian dijelaskan dr Theresia.
“Sebagai penerus bangsa, anak Indonesia harus
sehat secara fisik maupun
mental. Imunisasi adalah pilihan terbaik untuk mencegah penyakit.
Pemerintah
dan orang tua berkewajiban memberi upaya kesehatan terbaik demi tumbuh
kembang
anak,“ dikatakan Prof DR dr Sri Rezeki S. Hadinegoro, Sp.A(K), Ketua
Satgas
Imunisasi IDAI. ”Terdapat beberapa hal yang menghalangi dilakukannya
imunisasi
pada bayi, antara lain sulitnya menjangkau populasi yang tidak dapat
terakses
fasilitas kesehatan, menolak imunisasi, imunisasi yang terlambat,
imunisasi
ulangan tidak diberikan, persepsi negatif terhadap imunisasi, bahkan
pemikiran
bahwa imunisasi dapat menyebabkan efek samping berbahaya, yang
seharusnya
orang tua lebih takut kepada penyakitnya daripada efek samping yang
pada
umumnya
ringan, kegagalan vaksin-vaksin baru dan karena takut pada keamanan
imunisasi,”
tambahnya.
”Hal yang penting diperhatikan adalah keteraturan
dalam pemberian
imunisasi. Jadwal disesuaikan dengan kelompok umur yang paling banyak
terjangkit penyakit tersebut. Hasil beberapa penelitian melaporkan
bahwa
kadar kekebalan (antibodi) yang terbentuk pada bayi lebih baik daripada
anak
yang lebih besar, maka sebagian besar vaksin diberikan pada umur enam
bulan
pertama kehidupan. Beberapa jenis vaksin memerlukan pemberian ulangan
setelah
umur satu tahun, untuk mempertahankan kadar antibodi dalam jangka waktu
lama,”
ditekankan Prof Sri Rezeki.
Sementara itu, Prof Dr dr IGN Gede Ranuh,
Sp.A(K) mengatakan,
“Masyarakat seringkali sangat khawatir akan efek samping imunisasi
seperti
pegal-pegal dan demam daripada penyakitnya sendiri dan komplikasinya
yang dapat menyebabkan kecacatan dan kematian. Misalnya
anak
yang terkena campak akan mengalami demam tinggi yang berpotensi
menimbulkan
kejang untuk anak yang mempunyai riwayat kejang demam dan dapat
mengalami
radang paru atau radang otak sebagai komplikasi campak. Sedangkan
beratnya
demam akibat imunisasi campak tidak seberapa apabila dibandingkan
penyakitnya.”
“Reaksi samping imunisasi dapat disebabkan faktor
penyimpanan yang
kurang memperhatikan sistem ‘rantai dingin’ (cold chain), cara
menyuntiknya
karena ada vaksin yang harus disuntikkan ke dalam otot tapi ada juga
yang ke
lemak. Reaksi samping setelah imunisasi dapat ditemukan reaksi umum
(sistemik)
seperti demam ringan setelah imunisasi DPT. Demam itu sendiri adalah
suatu
reaksi tubuh ketika membentuk kekebalan. Untuk mengurangi rasa demam
dan tidak
nyaman bisa diberikan obat penurun panas,” lanjutnya.
"Masa
depan bangsa Indonesia ditentukan anak-anak yang sehat. Anak-anak
sehat akan menciptakan dunia yang sehat. Untuk itu, jagalah kesehatan
anak-anak
sejak dini dengan memberikan imunisasi,” tutupnya.
Dikutip dari Press Release Simposium: Imunisasi, Investasi Kesehatan
Masa Depan pada
tanggal 19 November 2010.
(Pada tanggal 19-21 November
2010, Ikatan Dokter Anak Indonesia melalui Satgas Imunisasi IDAI dan
bekerja
sama dengan IDAI Cabang Jakarta menyelenggarakan Simposium mengenai
imunisasi
dengan tema: Imunisasi, Investasi Kesehatan Masa Depan.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar